OpinionDay #39
Oleh : Fauzi Arif RH (SSG-004)
Kembali lagi melihat warung Bu Is yang siang itu terlihat ramai, yaitu warung yang ada kaleng krupuk berikut kerupuknya, es lilin, pisang goreng, masih ingat? Kegiatan pemasok krupuk yang mengganti krupuk dengan yang baru dan memberitahukan krupuk yang terjual, masih ingat? Masih ingat juga dengan pemasok es lilin dan pesanan bu Is?
Edisi kali ini kita akan mendiskusikan tentang strategi pembelian dari perspektif yang lain. Perspektif yang dimaksud disini adalah salah satunya dalam kaitannya dengan hubungan bisnis atau tingkat kepercayaan antara pemasok dan pembeli. Kadang ini disebut dengan model transaksi atau teknik pembelian. Apapun terminologi yang mau dipakai, ayo kita diskusikan satu per satu dengan santai sambil minum kopi dengan ketela goreng...:)
Tentu kita semua punya sahabat, kalau kita sudah lama bersahabat dan sahabat kita itu menunjukkan sikap dan perilaku yang baik kepada kita maka tentu kita akan memberikan kepercayaan yang lebih dari sahabat-sahabat kita yang lain. Ketika dia ingin meminjam sesuatu dari kita, mungkin kita tidak akan berpikir panjang dan langsung mengabulkan keinginannya, betulkah? Demikian pula halnya saat kita bertetangga dengan orang yang baik dan amanah, kita akan melakukan hal yang sama dengan sahabat kita itu. Bisnis tidak jauh berbeda dengan keadaan yang diillustrasikan di atas. Dalam bisnis, derajat kepercayaan memberikan pengaruh dalam partnership yang ujungnya berdampak pada cara berbisnis dan model transaksi yang terjadi.
Penjual dan pembeli apakah itu B2B (Business to Business) atau B2C (Business to Consumer) adalah dua pihak yang mengikatkan dirinya pada suatu kesepakatan transaksi. Biasanya semakin lama dan semakin seringnya frekuensi dua pihak ini melakukan transaksi bisnis, semakin tinggi pula kepercayaan “meski tidak selalu” antar keduanya. Tingkat kepercayaan ini memberikan pengaruh pada teknik atau cara yang dipilih keduanya dalam bertransaksi jual beli. Diagram dibawah ini menunjukkan hubungan antara derajat kepercayaan penjual, derajat keuntungan pembeli dan teknik atau model transaksi yang dapat dipilih pada kondisi ada kesetaraan bargaining power (Daya tawar) antara kedua belah pihak.
Kasus warung bu Is, kira-kira yang mana ya? coba kita bahas sekilas satu per satu....
1. Payment in Advance (Bayar di depan)
Ketika penjual dan pembeli bertemu pertama kali, biasanya kepercayaan antar keduanya belum terbentuk atau bahkan belum ada. Pembeli yang menginginkan memesan atau membeli produk biasanya diminta untuk membayar terlebih dahulu harga produk secara penuh atau 100% sebelum barang dikirimkan bahkan terkadang sebelum produk diproduksi di pabriknya. Hal ini terjadi terutama pada produk-produk MTO (Make to Order) atau ETO (Engineer to order). Penjual tidak mau sama sekali ada resiko kegagalan pembelian setelah barang di produksi karena barang jenis tersebut biasanya tidak mudah dijual ke pembeli lain. Pada jenis pembelian ini, pembeli mempunyai resiko yang besar.
2. Down Payment (Pembayaran uang muka)
Down payment adalah transaksi dimana pembeli mesti menyetorkan sekian persen (X%) dana dari besaran harga yang disepakati kepada penjual/pemasok. Nilai X% ini bisa sangat bervariasi bergantung pada antara lain tingkat kepercayaan, jenis barang, nilai barang, kondisi moneter dan lain-lain. Pada jenis ini, supplier akan mulai melakukan aktifitas pengadaan raw material atau mulai melakukan proses produksi ketika down payment sudah dibayar oleh pembeli. Nilai X% dimainkan dalam kaitannya dengan risk management terkait misalnya resiko kegagalan pembelian dan lain-lain untuk meminimalkan kerugian jika itu terjadi terutama untuk produk yang termasuk dalam ETO atau MTO. Pada tingkatan ini, penjual mulai mempunyai resiko kerugian akan tetapi pembeli masih memiliki porsi resiko kerugian yang lebih besar dalam pembelian jenis ini.
3. Payment before delivery (Pembayaran sebelum pengiriman)
Pembelian dengan jenis payment before delivery mempunyai pengertian bahwa pembeli diharuskan melakukan pembayaran lakukan terlebih dahulu sebelum barang dikirim atau diserahterimakan. Pada transaksi jenis ini, pembeli masih mempunyai resiko kerugian yang besar terkait dengan kegagalan pengiriman secara total atau misalnya terkait waktu penerimaan meski pemasok sudah melakukan proses produksi barang pesanan dimaksud.
4. Third Party Involvement (Keterlibatan pihak ketiga)
Penjual dan pembeli tentu menginginkan resiko yang kecil dalam setiap transaksi yang dilakukan. Keterlibatan pihak ketiga apakah itu perbankan atau institusi yang lain memberikan rasa yang lebih aman dalam bertransaksi. Kita semua bisa membandingkan perasaan yang muncul atau mungkin sikap yang diambil dalam kaitan risk management ketika membeli barang melalui misalnya Bukalapak, tokopedia, shopee dan yang lain dibandingkan dengan misalnya penjual di OLX, atau toko online langsung dan diminta mentransfer sejumlah dana terlebih dahulu, Tentu berbeda bukan?. Dalam transaksi bisnis skala besar apalagi bisnis antar negara, keterlibatan pihak ketiga dalam hal ini biasanya perbankan mempunyai peran yang sangat penting dan dibutuhkan keberadaannya dalam aspek menurunkan resiko kerugian kedua belah pihak. L/C (Letter of credit) menjadi sebuah instrumen yang sering digunakan dalam kasus ini. Isi kesepakatan dalam L/C sangat bervariasi dan mengikat kedua belah pihak secara legal baik dalam persyaratan dokumen pengiriman, nama produk, bank ditunjuk, tenggat waktu pengiriman, tenggat waktu pembayaran dan lain-lain.
5. Payment after delivery (Pembayaran setelah pengiriman)
Kepercayaan penjual kepada pembeli sudah cukup besar sehingga penjual mau melepaskan produknya kepada pembeli meski belum ada pembayaran yang didapat. Durasi waktu pembayaran setelah pengiriman bisa beragam bergantung pada kesepakatan antara ke dua belah pihak, bisa seminggu, sebulan atau bahkan lebih lama lagi. Penjual mesti memikirkan kemampuan working capital dalam menjalankan bisnisnya ketika transaksi model ini diterapkan. Hal ini karena mereka mesti terus berproduksi, meski penjualan produknya belum memberikan adanya dana masuk.
6. Consignment
Consignment atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan konsinyasi mempunyai pengertian bahwa penjual mengirimkan barang/produknya di tempat atau di gudang pembeli tanpa adanya pengakuan penjualan dan tentu saja tanpa ada pembayaran dari pembeli. Produk tersebut masih tercatat sebagai persediaan penjual di laporan keuangan mereka. Pengakuan penjualan biasanya terjadi ketika produk tesebut digunakan oleh pembeli baik dalam berproduksi dan atau dijual oleh pembeli jika pembeli tersebut adalah distributor misalnya.
Dalam contoh warung bu Is, penjual es lilin menitipkan es lilin di warung Is. Bu Is akan membayar sejumlah es lilin yang laku dan es lilin tersebut merupakan milik pemasok es lilin tersebut. Bu Is bertanggungjawab menjaga agar es lilin tersebut tidak hilang atau rusak.
Dalam konteks bisnis yang lebih besar, perjanjian lebih detail menyangkut produk dan tanggungjawab menjaga produk dibahas dan disepakati bersama. Bisa saja misalnya penjual mensyaratkan bahwa produk harus dibeli jika sudah mencapai durasi waktu tertentu misal setahun. Hal ini berarti jika barang tidak digunakan atau terjual selama setahun, sejak penerimaan misalnya, barang tersebut harus dibeli oleh pembeli. Demikian pula dengan tanggungjawab perawatan, dimana jika terjadi kerusakan selama penyimpanan, maka barang tersebut menjadi milik pembeli alias harus dilakukan pembayaran.
7. Vendor Managed Inventory (VMI)
Ketika hubungan bisnis sudah sangat baik dan kepercayaan antar pelaku bisnis dan tentu saja faktor di luar itu mendukung, Penjual bisa menerapkan model bisnis vendor managed inventory. Vendor managed inventory merupakan hubungan bisnis yang saling menguntungkan antara pembeli dan vendor. VMI pertama kali diterapkan oleh Wall-Mart, sebuah perusahaan ritel besar di America Serikat dengan bermitra dengan Proctor dan Gamble pada tahun 1980-an. Strategi VMI yang dilakukan Walmart ini berjalan sangat efektif sehingga biaya distribusi mereka tercatat kurang dari 2% dari penjualannya. Dikatakan bahwa Walmart mempunyai biaya distribusi kira-kira 50% lebih baik daripada pesaingnya.
Model bisnis pemasok kerupuk di warung bu Is tersebut adalah salah satu miniatur model transaksi Vendor managed Inventory, dimana dia yang mengurus pasokan, replenishment, penghitungan inventory, dan lain-lain. Bu Is sebagai pembeli hanya menyediakan tempat “gudang” bagi krupuk dan melakukan aktifitas berkaitan dengan penjualan misalnya menentukan lokasi “placement”, menawarkan dan lain-lain. Tidak ada pencatatan inventory baik beginning balance maupun ending balance inventory, bahkan penjualannya pun dihitung oleh pemasok. Dalam bisnis skala besar, tentu tidak sesederhana yang terjadi di warung Is akan tetapi memerlukan aspek aspek transaksi dengan kompleksitas yang lebih tinggi.
Prinsip dasar dari Vendor Managed Inventory adalah dimana vendor atau pemasok bertanggungjawab dalam mengelola persediaan di tempat pembeli (Kuk, 2004). Hal ini sangat jauh berbeda dengan pembeli yang biasanya mengelola banyak sekali macam produk, pada VMI produk dikelola oleh pemasok dan dengan variasi produk yang relatif terbatas sehingga tidak membutuhkan pengetahuan yang luas dan biasanya lebih mudah dalam aspek peramalan persediaan. Jika perusahaan menerapkan strategi VMI pada semua item barang, maka praktis perusahaan tersebut tidak lagi banyak upaya dalam melakukan pengelolaan barang pasokan. Bisakah?
Kalau dilihat pada diagram di atas, VMI berada pada posisi derajat kepercayaan penjual yang sangat tinggi yang tentunya juga butuh iklim bisnis dan infrastruktur yang mendukung untuk bisa diterapkan. Untuk membangun kepercayaan penjual biasanya dibutuhkan hubungan bisnis yang berjalan lama dan konsistensi dalam hubungan yang saling menguntungkan dan amanah satu sama lain. Jika tidak, maka akan sangat sulit untuk diterapkan disamping karakter produk yang juga berpengaruh.
Selain hal-hal di atas, seperti disebutkan sebelumnya bargaining power (daya tawar) ke dua belah pihak juga menjadi faktor penentu dalam pemilihan jenis atau model transaksi jual beli yang disepakati. Pemasok yang daya tawarnya sangat rendah karena hidup atau mati bisnisnya bergantung pada satu pembeli, akan menuruti apa yang dikehendaki oleh pembeli demikian pula sebaliknya. Apakah demikian dengan warung Is?
Ditulis oleh Fauzi Arif RH (FA-2020-04)
Belajar dan Ikut Serta Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Meningkatkan Keunggulan Bersaing Industri Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Related Posts
-
Hari Jumat ini, tanggal 11 Desember bertepatan sebagai Hari Gunung Internasional, yang telah ditetapkan pada tanggal tahun 2002 oleh PBB. D...
-
Kecakapan berbicara di depan umum merupakan kompetensi yang wajib dimiliki setiap karyawan. Namun realitanya, tidak semua karyawan memiliki ...
-
Info Masze... Banyak yang bisa kita pelajari dari Public Speaking, salah satunya ketika "Presentasi di depan umum / atasan". Surab...
-
[SSG#45] PUBLIC SPEAKING: Efektifitas Public Speaking dalam Presentasi di Kantor Cara Belajar Presentasi Dan Public Speaking Agar Tak Grogi ...
-
Setelah sebelum sukses melakukan kolaborasi antara IPOMS dengan Fakultas Teknik dari kampus Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo (Unusida) ...
No comments:
Post a Comment