Oleh : Fauzi Arif RH (SSG-004)
Siang itu warung Bu Is yang terletak di pojok jalan sebuah desa terlihat sangat ramai. Keramaian itu tidak saja karena banyak pembeli yang duduk berjubel di depan dan di samping warungnya, tetapi juga para rekanan pemasok barang dagangan yang juga antri melakukan aktifitas biasanya. Warung itu sederhana sekali berupa sebuah bangunan dari bambu dikombinasi dengan anyaman bambu dengan atap genteng berbahan asbes, yang sebenarnya sudah tidak layak dalam perspektif kesehatan, bukan genteng kualitas rumah gedongan. Selain jualan nasi, lauk pauk dan minumannya yang kelihatan di etalase kecil, warung Bu Is juga dilengkapi dengan kerupuk yang ada dalam kaleng-kaleng yang tergantung di bagian samping warung, pisang goreng di bagian depan dan juga es dalam plastik “es lilin” yang ada dalam kulkas kecil. Tampak daftar menu seadanya layaknya warung kampung di tempel di beberapa sisi.
Beberapa saat kemudian tukang krupuk, mengambil kaleng krupuk yang tergantung di warung, dilihat isinya dan dihitung, setelah itu dia meletakkan kaleng berisi kerupuk yang baru di tempatnya dan memberitahukan berapa yang sudah laku ke Bu Is. Bu Is langsung membayar sejumlah uang sesuai krupuk yang laku berdasar informasi dari pemasok krupuk. Berbeda halnya dengan traksaksi es lilin, ketika pemasok datang, Bu Is menghitungnya dan membayar sejumlah uang untuk es yang laku sambil berpesan bahwa es tidak perlu diambil dan akan dia simpan di kulkas dan juga berpesan minta dikirim es lilis jenis tertentu yang penjualannya cukup tinggi.
Berbicara supply chain, warung Bu Is di atas merupakan miniatur dari supply chain yang secara kasat mata terlihat kegiatannya dari sejak procurement “purchasing”, proses produksi dan penjualan termasuk juga di dalamnya aliran barang dan aliran informasi. Di warung itu terlibat beberapa pihak yaitu penjual, pembeli dan pihak produksi yang satu sama lain berinteraksi dengan aktif. Supply chain atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan rantai pasok didefinisikan sebagai jaringan perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Kalau rantai pasok adalah jaringan fisiknya, yakni perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, memproduksi barang maupun mengirimkannya ke pemakai akhir, manajemen rantai pasok adalah metode, alat atau pendekatan pengelolaannya (Pujawan dan Mahendrawathi, 2010). Ahli manajemen yang lain mendefinisikan supply chain management sebagai suatu pendekatan yang digunakan untuk mencapai pengintegrasian yang efisien dari supplier, manufacturer, distributor, retailer dan customer (Levi, et al, 2000), sedangkan Chow et.al. (2006) mengartikan Supply Chain Management (Manajemen Rantai Pasokan) sebagai pendekatan yang holistik dan strategis dalam hal permintaan, operasional, pembelian, dan manajemen proses logistik.
Pengadaan atau pembelian barang merupakan salah satu bagian dalam rantai pasokan yang mesti diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan secara bisnis, yang tentu saja menguntungkan disini melibatkan keuntungan para pihak yang terlibat didalamnya. Keuntungan akan didapat jika perusahaan melakukan strategi yang tepat sesuai dengan kebutuhan bisnisnya. Setidaknya ada 3 (tiga) strategi pembelian yang dikenal, yaitu:
- Sole sourcing: Perusahaan dalam melakukan pembelian hanya bergantung pada satu pemasok untuk bahan atau komponen tertentu.
- Multiple sourcing: Perusahaan dalam melakukan pembelian dengan memesan dan membeli suatu bahan atau komponen tertentu dari beberapa pemasok.
- Parallel sourcing: strategi pembelian yang merupakan pengembangan dari sole sourcing di mana ada dua pemasok untuk dua bahan atau komponen yang berbeda, namun kedua pemasoktersebut dapat menjadi pemasok cadangan satu sama lain.
Setiap strategi pembelian yang dipilih akan selalu memberikan keuntungan dan resiko, sehingga seorang praktisi purchasing dituntut untuk betul-betul menganalisa secara detail dan teliti. Keuntungan dimaksud dalam pembelian diukur dengan perolehan nilai yang tinggi yaitu perbandingan antara manfaat dan harga. Bagi sebuah entitas bisnis hal tersebut bukanlah merupakan ukuran satu-satunya, mengingat perusahaan juga memperhatikan sustainability pasokan sehingga juga menjamin keberlangsungan bisnisnya.
Disamping keuntungan, pembelian juga menghadapi resiko pembelian. Agustinus Johanes Djohan (2016) dalam bukunya Manajemen dan Strategi Pembelian menyebutkan ada 7 (tujuh) resiko pembelian, yaitu:
- Resiko Fungsional : produk tidak bekerja sesuai harapan.
- Resiko Fisik : produk mengancam kesehatan atau kenyamanan fisik pengguna atau orang lain
- Resiko Keuangan : produk tidak layak untuk harga yang dibayar
- Resiko Sosial : produk menimbulkan rasa malu pada orang lain
- Resiko Psikologis : produk mempengaruhi kesehatan jiwa pengguna
- Resiko Waktu : kegagalan produk menimbulkan biaya untuk produk pengganti
- Resiko Hukum : produk ilegal
Melihat resiko yang disebutkan di atas, maka proses pengambilan keputusan pembelian melibatkan banyak bidang ilmu untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Apakah itu berarti bahwa seorang purchaser harus mempunyai kompetensi yang luas baik kompetensi teknis maupun kompetensi non-teknis? Jawabannya bisa beragam bergantung pada kebutuhan perusahaaan. Lebih luas pengetahuannya akan lebih menguntungkan dia sebagai praktisi dan juga perusahaan dimana dia berprofesi. Namun mendapatkan orang yang mempunyai kompetensi yang mumpuni di beberapa bidang tidaklah mudah dan tentu saja harganya mahal karena supply availability-nya yang kecil. Apalagi saat ini dimana banyak perusahaan manufaktur “dipaksa tutup” menutup pabriknya karena COVID-19 (Corona virus disease-19), tentu orang-orang procurement mesti memainkan peran yang extra ordinary dalam mempertahankan pasokan perusahaannya.
Ditulisan berikutnya kita akan terus membicarakan warung Is sebagai contoh miniatur supply chain, so diingat-ingat ya? :)
Ditulis oleh Fauzi Arif RH (FA-2020-02)
No comments:
Post a Comment