Sunday, August 9, 2020

Circular Economy, Bank Sampah, dan Nanofinance

Opinion Day #54
Khairunnisa Musari (SSG-369)


Tulisan ini diambil dari salah satu makalah saya yang lolos 12th International Conference on Islamic Economics and Finance (ICIEF). Alhamdulillaah, Allah izinkan saya berturut-turut dapat mengikuti 10th ICIEF di Qatar pada 2015.

Lalu, 11th ICIEF di Malaysia pada 2016, dan kali ini 12th ICIEF di Turki pada 2020 meski hajatan prestisius dari the Islamic Research and Training Institute-Islamic Development Bank (IRTI-IDB) itu harus berubah dalam bentuk Webinar karena pandemi covid-19.

Ide tulisan ini terinspirasi dari Dr. Tariqullah Khan, seorang Profesor Keuangan Syariah dari Hamad bin Khalifa University, Qatar. Dr. Tariqullah Khan adalah salah satu nama besar dalam jagad keuangan Islam dunia.

Karya-karyanya termasuk yang selalu menjadi referensi. Dari beliaulah, saya kemudian mengenal circular economy dan tertarik mendalaminya.

Circular economy masih menjadi istilah yang relatif baru buat Indonesia. Tapi bagi mereka yang konsen pada isu-isu lingkungan dan keberlanjutan, istilah ini mestinya sudah cukup sering didengar.

Secara sederhana, circular economy adalah konsep untuk mengurangi sampah dan memaksimalkan sumber daya yang ada. Konsep ini berbeda dengan linear economy yang kebanyakan dilakukan oleh kita semua dahulu, yaitu ambil - pakai - buang.

Pada circular economy, semua bentuk sampah, emisi, dan energi terbuang dipandang sebagai sumber daya untuk memperpanjang masa pakai sampah untuk dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku utama atau campuran bagi produk baru.

Circular economy adalah jawaban pula untuk masalah sampah plastik yang beberapa tahun terakhir menjadi isu nasional.

Masih ingat kan dengan kebijakan di berbagai tempat yang melarang penggunaan air kemasan dan kemudian dihimbau untuk membawa botol minuman sendiri?

Masih ingat kan ketika kita berbelanja di minimarket harus membayar kresek atau diminta membeli tas non-plastik?

Nah, upaya-upaya mengurangi sampah plastik itu juga menjadi target circular economy. Dengan konsep ini, limbah plastik didaur ulang untuk menghasilkan bahan baku baru yang dapat digunakan untuk memproduksi, misalnya, aspal plastik seperti di Cilegon.

Buat Indonesia, manajemen sampah yang digaungkan oleh circular economy hari ini sesungguhnya telah lama dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Apa itu? Ya, benar, bank sampah.

Saya menulis di media tentang bank sampah sudah sejak 2010. Tapi, saat itu, belum marak dikenal istilah circular economy. Proses-proses yang diperkenalkan circular economy hari ini sejatinya adalah proses-proses yang telah dilakukan bank sampah di Indonesia sejak dahulu.

Dengan kata lain, bank sampah adalah salah satu kearifan lokal masyarakat Indonesia. Sebelum circular economy dikenal, sebagian masyarakat kita telah melakukan manajemen sampah berbasis komunitas dengan memilah sampah.

Bank sampah di Indonesia terus bertransformasi. Dalam fase tertentu, bank sampah di Indonesia kemudian memiliki fungsi sebagai lembaga simpan pinjam.

Apa bedanya dengan perbankan? Ya, mirip perbankan. Hanya, objek transaksinya adalah sampah.

Jadi, nasabah bank sampah yang membutuhkan dana dapat meminjam uang pada bank sampah. Pengembalian pinjaman bukan dengan uang, tetapi dengan sampah.

Nilai pinjaman yang disediakan bank sampah kisarannya berbeda-beda. Ada yang berkisar Rp 100-300 ribu, maksimum Rp 500.000, ada juga yang maksimum Rp 1.000.000.

Nah, nilai pinjaman tersebut dapat dikategorikan sebagai nanofinance.

Adapun penerima manfaat terbesar dari layanan pinjaman bank sampah itu adalah masyarakat yang berada pada lapisan bawah. Dan kelompok masyarakat tersebut yang memang menjadi target utama nanofinance kan…

Ya, kehadiran nanofinance melengkapi keterbatasan microfinance dalam menjangkau kelompok masyarakat miskin. Misi utamanya adalah menghindarkan mereka terjerat rentenir, mendorong untuk mandiri, dan mampu memenuhi kebutuhan minimum serta menjalani kehidupan yang layak.

Untuk itu, pembiayaan kategori ini harus meniadakan bunga atau beban administrasi, bahkan bagi hasil, karena merupakan pinjaman kebajikan (qardh).

Daaaaan… dari berbagai literatur dan informan yang saya temui, semua menyebutkan nilai pengembalian pinjaman dari nasabah dalam bentuk sampah itu ya sesuai nilai pinjamannya tersebut. Dalam keuangan syariah, ini qardhul hassan kan…

Tidak hanya itu saja. Keberadaan bank sampah sejatinya adalah bagian dari pembangunan lingkungan hidup (LH) yang pada hakekatnya adalah mengurangi resiko lingkungan dan memperbesar manfaat lingkungan.

Dalam QS. Al-Hijr: 19-20 dan QS. An-Nahl: 14, 66, Allah telah menyatakan bahwa bumi dihamparkan dengan gunung-gunung dan segala sesuatu yang ditumbuhkan di atasnya sesuai ukuran.

Allah menjadikan segala sesuatu di bumi untuk memenuhi keperluan hidup. Allah juga menciptakan lautan dan binatang ternak yang dapat diambil manfaatnya oleh manusia.

Akan tetapi, LH sebagai sumber daya mempunyai kemampuan regenerasi yang terbatas. Apabila eksploitasi atau penggunaannya melampaui batas daya regenerasi, maka sumber daya alam (SDA) akan mengalami kerusakan atas fungsinya sebagai faktor produksi dan konsumsi.

Oleh karena itu, QS. Hud: 61 mengingatkan tentang tanggung jawab manusia untuk memelihara dan memakmurkan bumi untuk mendapat penghidupan.

Pada tataran inilah, kita bisa melihat adanya keeratan antara Islam, bank sampah, nanofinance, dan circular economy. SDA dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi LH.

Sebab, SDA dalam Islam sejatinya memiliki peran ganda. Yaitu, sebagai modal pertumbuhan ekonomi dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan.

Atas dasar fungsi ganda tersebut, SDA senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional.

Wallahua’lam bish showab.***


Di upload ulang dari https://portaljember.pikiran-rakyat.com/ekonomi-syariah/pr-16394137/circular-economy-bank-sampah-dan-nanofinance

No comments:

Post a Comment

Related Posts