Tuesday, August 22, 2017

5S, Implementasi dan Problem

Apakah 5S effective dalam membangun sistem pada suatu organisasi?

Setelah Senin malam terjadi diskusi seru di Grup Whatsapp dari Surabaya Study Group, hari Selasa malam dibuka diskusi lanjutan dengan topik yang berbeda. Kali ini dibuka dengan tema 5S dan diawali dengan pertanyaan Apakah 5S effective dalam membangun sistem pada suatu organisasi?

Sebelum kita menuju intisarinya, kita jabarkan dulu apa 5S itu sendiri.

5S merupakan kepanjangan dari Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Sitsuke. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi 5P, yaitu Pemilahan, Penataan, Pembersihan, Perawatan dan Pembiasaan. Dan tak jarang orang menyebutkan menjadi 5R, yaitu Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin.

Dalam fase Rawat itu memerlukan kedisiplinan dan kemauan yang tinggi, karena fase yang ke-4 (Rawat) kita perlu mengubah budaya team. 5S ini bisa dibilang salah satu landasan fundamental dalam membangun company culture.

Secara keseluruhan penerapan 5R ini memang harus diawali dengan komitmen dari management. Management harus menjadi ing ngarso sung tulodho. Atau istilah lainnya adalah dengan pendekatan Top to Bottom. Tidak bisa atau sulit jika menggunakan pendekatan Bottom to Top. Terutama misalnya dalam hal kebijakan membuang yang tidak diperlukan.


Lalu bagaimana strategi membuat manajemen menjadi komit?
Sebelum mengarah kesana, kita ambil case dalam implemetasi 5S.

Case 1 : Dilema mengembalikan tool ke tempat asal karena memakan waktu, sehingga pada akhirnya tool tersebut ditaruh di dekat kita, namun kemudian lupa, sehingga tool tersebut hilang sementara.

Case 2 : Harusnya lemari kapasitas bisa 100%, tapi setelah impementasi 5R utilitasnya menjadi hanya 15%

Dari 2 case diatas tercermin mengeksekusi 5S tanpa assesment, hanya mengetahui dari definisi langsung di implemented.


Untuk membahas 5R, kita mulai dari R pertama atau R 1 (Ringkas).

Sebuah fenomena yang selalu dipandang sebagai sebelah mata, karena asumsi nanti akan dipakai lagi. Namun seiring berjalannya waktu, secara functional sudah tidak optimal. Sehingga menyebabkan pergeseran fungsi menjadi abu-abu.

Contoh , terdapat sebuah dongkrak mesin. Dongkrak tersebut dibeli dengan tujuan untuk memindahkan mesin saat relayout. Harganya cukup mahal untuk penggunaan yang frekuensinya tidak terlalu sering.

Dari sisi Dept. Purchasing proses pembeliannya memakan waktu yang lama. Dan dari sisi Dept. Finance asset tersebut merupakan asset yang sudah dimiliki oleh perusahaan, maka harus dirawat dengan baik.

Namun itu semua hanya asumsi belaka dari kedua departemen tersebut. Actual di produksi, dongkrak diletakan begitu saja di tempat tools tanpa ada pemeliharaan yang baik. Lalu seiring berjalannya waktu, ada informasi bahwa bos dari mother company akan visit dan akan genba ke semua departemen.

Dibagian produksi melakukan proses 5S dan ketemulah dongkrak yang sudah usang. Statusnya disini masih menggantung. Secara fungsional sudah tidak bisa, karena ada satu item yg berkarat, niatnya ingin dibersihkan, namun bautnya patah di dalam.


Disini terjadi diskusi yg menarik. Antara mau dibuang atau di-repair?

Dari Dept. Purchasing, kita harusnya check dulu rent or buy analysis, tetapi jika sudah terlanjur kita check "nilai buku"nya, jika masih menguntungkan maka kita perbaiki.

Namun yang jadi masalah, ketika nilai buku tidak bersahabat dengan nilai fungsi, otomatis jadinya muncul istilah "Eman-Eman". Dengan muncul rasa "eman-eman" kemudian disusul dan muncul "Nyumpeki" alias bikin sumpek.


Salah satu pendapat yang dilontarkan adalah dalam proses R 1, yaitu Ringkas (Pemilahan), ada beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan, yaitu :
Step 1 : Membuang yang tidak diperlukan, bila abu abu
Step 2 : Mengidentifikasi barang yang tidak diperlukan
Step 3 : Melaksanakan pembersihan besar dan
Step 4 : Meneliti penyebab

Semua case apapun itu termasuk alat besar adalah hanya sekedar "objek penderita". Sebelum nantinya akan terjadi pergeseran makna, maka prinsip ringkas membedakan antara yang tidak diperlukan serta membuangnya. Dalam hal ini dibuatlah managemen stratifikasi dan menangani masalah. Secara actual penempatan barang yang masuk dalam stratifikasi dimasukan dalam "Label merah" beserta timeline dan project sheet nilai barang dihitung untuk FA.

Sehingga Aktifitas R 1 adalah
1. Menghilangkan yang tidak perlu
2. Menangani penyebab kotor
3. Perbaikan dan pemilahan berdasarkan asasnya.

Pendapat yang lain adalah sebagai berikut :
Step 1 : Bisa masuk ke kategori barang yang intensitasnya jarang dipakai.  
Step 2 : Dimensi besar, bisa dialokasikan ke gudang dengan tempat labeling terpisah khusus barang barang yang intensitas pemakaiannya jarang.  
Step 3 : Kenali penyebab bisa dengan metode 5 W + 1 H.     
Step 4: Dongkrak jangan dibuang dulu tapi bisa dipindahkan ke tempat misal ke gudang khusus dengan tempat khusus  dengan dikasih labeling agar mudah dicari.


Dalam menilai barang dengan kategori dibuang sayang ini, tim Aset management dan bagian patroli 5R dapat berkoordinasi dan menilai dari segi aset dan jika masih bisa diperbaiki maka lanjut, tapi jika dinilai tidak bisa, maka bisa dijadikan pertimbangan bagi management agar bisa dimasukkan dalam kategori scrap.


(bersambung)

No comments:

Post a Comment

Related Posts