OpinionDay #47
Oleh : Fauzi Arif RH (SSG-004)
Kinerja yang baik merupakan tujuan dari setiap organisasi baik organisasi nirlaba maupun organisasi yang berorientasi laba. Kinerja diartikan sebagai catatan hasil pada pelaksanaan fungsi kerja atau aktifitas dalam kurun waktu tertentu (Keban, 2004). Mengingat kinerja merupakan sebuah catatan dan atau tampilan dari hasil, maka kinerja perlu diukur dan tentu saja dipresentasikan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Pengukuran kinerja sangat penting dilakukan untuk pencapaian tujuan perusahaan. Beberapa model atau kerangka pengukuran kinerja dikenalkan dan atau dipopulerkan para ahli untuk menjadi sebuah solusi bagi organisasi seperti direkapitulasi oleh Lisiecka dan Czyz Gwiazda (2013) yaitu antara lain
Activity Based Costing (ABC) dan
Activity Based Management (ABM) (Cooper & Kaplan, 1988),
Strategic Measurement Analysis dan Reporting Technique (SMART) (Cross & Lynch, 1988);
Supportive Performance Measure (SPM) (Keegan et al., 1989);
Balanced Scorecard (BSC) (Kaplan & Norton, 1992);
Return on Quality Approach (RQA) (Rust et al., 1996);
Cambridge Performance Measurement Framework (CPMF) (Neely et al., 1997);
Integrated Performance Measurement System (IPMS) (Bititci et al., 1997);
Dynamic Performance Measurement System (DPMS) (Bititci et al., 2000);
Performance Prism (PP) (Neely et al., 2001);
Capability Economic Value of Intangible and Tangible Assets Model (CETITAe) (Ratnatunga et al., 2004) dan lain-lain. Semua model atau kerangka pengukuran kinerja yang dikembangkan diarahkan pada pencapaian kinerja organisasi yang baik dan berkesinambungan.
Manajemen kinerja perusahaan merupakan bagian dari manajemen strategi pada proses evaluasi dan pengendalian (Jauch dan Glueck, 1989; Wheelen dan Hunger, 2012). Kinerja menurut Wheelen dan Hunger (2012) adalah hasil dari aktivitas, ukuran yang mana yang harus diukur bergantung pada sasaran organisasi. Sedangkan Keban (2004) mengartikan kinerja sebagai catatan hasil yang dihasilkan pada pelaksanaan fungsi kerja atau aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Mempertimbangkan beberapa pengertian kinerja di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan tampilan hasil dari suatu aktivitas tertentu.
Dalam literatur manajemen stratejik dikenal 2 (dua) teori besar dalam kaitannya dengan keunggulan bersaing dan kinerja perusahaan yaitu teori
Industrial Organization (IO) dan
Resource Based View (RBV). Kedua teori di atas mempunyai pandangan yang berbeda satu sama lain yang masing-masing diikuti oleh banyak ahli dan praktisi manajemen stratejik. Teori organisasi industrial (IO) yang diprakarsai oleh beberapa peneliti seperti Bain, Mason, Porter menjelaskan bahwa kinerja perusahaan ditentukan oleh kondisi industrinya. Jika industri di mana perusahaan itu menjalankan bisnisnya berkinerja baik, maka baik pulalah kinerja perusahaan tersebut dan demikian pula sebaliknya. Conner (1991) menyebutkan ada 5 (lima) pandangan dalam teori IO yaitu
Neoclassical theory’s perfect competition model, Bain-type industrial organization, the Schumpeterian, Chicago responses dan transaction cost economics.
Porter (1981) menyatakan bahwa model organisasi industri paradigma tradisional yang dikembangkan oleh Bain/Mason sangat jarang digunakan dalam praktik kebijakan bisnis, pengembangan model industrial organization di tahun 70-an telah mengurangi gap antara organisasi industrial dan kebijakan bisnis. Salah satu sumbangan Porter pada pengembangan pendekatan organisasi industrial adalah dikenalkannya model
Five force analysis yang kemudian banyak digunakan oleh dunia bisnis dalam melakukan perencanaan stratejik. Pandangan dalam mahzab
industrial organization menekankan bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja perusahaan.
Teori lain yang dikenal dengan
Resource based view (RBV) berpandangan bahwa faktor internal perusahaanlah yang menentukan kinerja perusahaan. Teori ini bermula dari penelitian Penrose (1959) yang meneliti kontribusi sumber daya dalam strategi diversifikasi perusahaan untuk mendapatkan kinerja perusahaan yang baik. Selanjutnya pada tahun 1990-an, para ahli mulai banyak melakukan penelitian terkait dengan pandangan ini. Keunikan dan kapabilitas sumber daya perusahaan menentukan keberlangsungan perusahaan dalam persaingan bisnis. Wernerfelt (1984) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa sumber daya perusahaan menjadi faktor yang sangat penting dalam strategi diversifikasi perusahaan pada aspek produk yang bermuara pada kinerja perusahaan. Sumber daya yang dimaksud oleh Wernerfelt (1984) adalah semua yang bisa menjadi kelemahan dan kekuatan perusahaan. Ahli manajemen lain yang terkenal dan terlibat dalam penelitian berhaluan teori RBV ini antara lain Rummelt (1984), Barney (1986), Mahoney (1992) dan lain-lain.
Pandemi virus corona merupakan perubahan lingkungan ekternal perusahaan yang mempengaruhi keberlangsungan sebagian besar bisnis saat ini disamping banyak juga perusahaan yang bisa survive pada kondisi pandemi saat ini. Melihat fenomena ini, bagaimana menurut anda? Teori mana yang lebih relevan dalam konteks kinerja bisnis saat ini?
Ditulis oleh Fauzi Arif RH (FA-2020-06)