Monday, June 7, 2021

Influencer Jaman Dulu

Lantas bagaimana dengan studi kasus perusahaan yang ada di dalam negeri. mungkin ada yang bantu menambahkan.

Bisa jadi sama pak, atau malah kondisi beberapa mendatang, kalau dulu supplier ada 10 pilihan, competitor ada 5 perusahaan, customer ada ratusan, kondisi mendatang suplier hanya ada 2 pilihan, competitor 4, customer tetap ratusan. bagaimana keberlangsungan bisnis jika kondisinya demikian, disamping permasalahan distribusi.

kita ambil paling dekat saja, dengan kehidupan kita, Rokok Dji Sam Soe? atau penggemar kuliner sate atau gule, yang menggunakan Kecap Cap Sate. apakah menerapkan yang diatas? atau malah ada kiat kiat khusus.

tulisan Bagaimana Perusahaan dapat Bertahan Lebih dari Seabad? sangat menggelitik, untuk memulai pembahasan, bagaimana perusahaan dapat berjalan lebih dari 1 abad, namun akan lebih menarik jika skala kecil UMKM atau perusahaan lokal yang bertahan, kalau dji sam soe dengan bendera besarnya sampoerna, bagaimana merk lain. tentu pengelolaan perusahaan, bukan hanya masalah ada di profesional, lantas bagaimana dengan intrik drama yang terjadi di keluarga.

Jamu iboe itu juga sudah lebih dr 100 th.

Klo di kediri ada kecap sawi. Sejak 1935 sejarahnya.

Mungkin brand bisa jadi salah satu faktor dalam company's sustainability?

bisa jadi, karena brand terbentuk dari Voice of Customer. itu aliran yang saya anut. brand itu tercipta alamiah.

Untuk lokal : 1. Pertahankan kualitas dan mutu 2. Inovasi / membuat produk yang relevan dengan jaman 3. Menguatkan dan membesarkan Brand

Betul Mas, Dahulu sebelum muncul kecap-kecap nasional, bango, abc, sedap. Di kediri hanya ada kecap sawi saja di semua toko hampir 90% mungkin. Karena salah satu memori masa kecil adalah makan nasi hangat-hangat hanya dengan  kecap sawi sudah sangat lezat.

Saya yakini, jawaban diatas benar, namun pada kondisi kenyataanya, "la lapo, saiki ae wes rame", dan beberapa yang menerapkan seperti itu ya tetap survive, kecap cap sate, apanya yang mau di inovasi, kecap ya kecap.

sangat menarik bukan, produknya tetap, tapi masih digunakan sampai saat ini, ya paling hanya ganti kemasan.

Dari kemasan mungkin, yg lebih ergonimis. Iya, itu nama nya inovasi.

Nah ini mungkin yang disebut success syndrome. Terlalu asyik dengan kesuksesan sehingga tidak aware ada kompetitor membayangi, operation dan logistics yang mulai complicated, etc.

Kecap sawi new packaging.

Bisa jadi, ini terbentuk karena rasa kekeluargaan, pembelajaran ini yang saya dapatkan ketika market survey di salah satu kota di indonesia, mereka pemilik toko lebih ke rasa "sungkan" menerima produk lain, karena dulunya dibantu oleh seseorang.

mereka buka toko, dimodali dan diberi barang juga. hingga sampai saat ini berhasil punya toko, dan tetap produk yang dijual ya produk itu saja. dan survive.

Kecap sambal, Kecap rasa udang, kecap rasa bawang, ya memang perlu survey pasar.

Berarti brand awareness nya sudah masuk ke alam bawah sadar konsumen mungkin?

Klo saya ditanya kecap ya pasti kecap sawi, di rumah keluarga juga adanya kecap sawi untuk konsumsi Keluarga.

Benar ini, sudah merasa no 1 akhir nya lengah.

tapi tetep kembalinya ke kecap semula..namun ya sampai saat ini masih operation bertahun tahun.. bagaimana dong. pendekatan profesional pun mungkin akan kalah dengan sense of bussiness mereka

Berarti ada variabel quality juga ... 

ini yang ngga didapat oleh profesional, pendekatan sense of bussiness, terlebih dalam family bussiness

Yup dalam inovasi kan tidak harus semua sukses, yg sukses di pertahan kan, always continuous improvement

nah ini salah satunya, hampir mirip dengan cara jualan mobil jaman dulu, dimana dalam sebuah perkampungan atau desa, cukup "pak haji" saja yang diberikan diskon khusus beli pickup, begitu pak haji beli pickup, otonatis lainnya juga ikutan

Saya punya rekan, salah satu produsen rokok kretek, di bojonegoro. awalnya industrinya padat karya, lancar sukses, namun saat mulai pindah ke mesin otomatisasi, malah mulai menurun..

lantas kalau pemahaman, yang penting bisa mbuka lapangan kerja, orang banyak bekerja, maka rejeki pun lancar. apakah ini juga salah satu faktor. coba dilihat industri tradisional, yang padat karya malah lebih bergeliat daripada mereka masuk ke modernisasi.

menarik pembahasan ini

Menarik Boss sudut pandang nya, bisa dipakai untuk bahan penelitian ... 

karena fenomena itu terjadi

Doa pekerja berpengaruh pada rezeki perusahaan an.......AQ rasa handmade itu lebih memiliki citarasa sendiri, mungkin karena peralihan ke otomatisasi merubah citarasa yg sebelumnya.....Buktinya Djie Sam Soe, masih setia tanpa otomatisasi.....

berarti kalo zaman now, cukup influencer saja yang di beri gratis, kemduian uplod di chanel nya untuk direview

Ooh faktor spiritual juga berpengaruh berarti Om

bisa juga karena faktor voice of customer td, karena ratusan karyawannya dirmahkan akhirnya menimbulkan empati untuk "boikot" produknya

Sebuah kisah dan Sudut Pandang. Generasi 1 : terima kasih saya dibantu bikin usaha ini berjalan ya bapak ibu, terima kasih terima kasih. Generasi 2 : Papa senang diberi perusahaan ini oleh kakekmu, karena bisa memperkerjakan banyak orang, bisa membantu banyak orang, doai aja ya nak biar usaha ini jalan terus banyak bisa kita bantu orang orang, kamu pun hidup berkecukupan, bisa sekolah di luar negeri, Generasi 3 : (Kembalinya sekolah di luar negeri) pah, kenapa ngga mulai kita pakai mesin, robot kayak pabrik temenku, enak otomatis, hasilnya cepat, ndak perlu lagi urus pekerja pekerja yang mogok.

kalau metode handmade ini bagaimana menjaga standard, bisa menjadi pembahasan manarik.

Pak haji itu sosok influencer jaman dulu, tanpa berpikir aneh aneh, pokonya usaha jalan, barang bagus dinilai bagus. kalau influencer jaman skr ini yang agak sulit dinilai 

tidak semua produk bisa dihasilkan pake otomatisasi 

Brand, tercipta dari persepsi konsumen.

nah topiknya menajdi menarik kan, coba meng-anlisa, apakah toko oen mengenal QCC, GKM atau Fish Diagram..., apakah tahu kuning kediri juga? apakah pabrik rokok kretekpun juga mengenal

Sama kayak makan indomie buatan di rumah dengan di warung, lak di warung bikin nagih, padahal bikinnya ya sekenaknya 

Memang rata2 perusahaan keluarga rentan di uji pada pada generasi ke 3

sangat menarik melihat perilaku industri, ada juga sebuah pabrik sudah besar, melenggenda, eh pailit, pailitnya bukan masalah di sales atau distribusi atau produknya, pailitnya karena gaya hidup pemilik. pagi di jakarta siang di singapore buat belaja sore sudah di surabaya, penggunaan kartu kredit pun menggila, hingga menumpuk.

padahal usianya sudah puluhan tahun, dan saya yakini diantara bapak dan ibu menggunakan produk tersebut saat shalat id kmrn..

ada teman main saya juga, sampai skr dia tidak dipegangin pabrik cat orang tuanya, padahal udah usia orang tuanya dan sudah pantas untuk diwariskan, eh malah dibukain pabrik sendiri 

bahkan sempat ada ungkapan = Generasi pertama merintis. Generasi kedua membangun. Generasi ketiga menghancurkan. Entah si generasi ketiga ini lulusan dlm negeri or luar negeri

kenapa saya angkat topik ini, karena ini yang kita hadapi sehari hari, mungkin beda cerita dengan perusahaan luar negeri, karena saya yakini ada citra rasa pengelolaan yang mendekatif kearifan lokal

Di test, kalo layak maka bakalan di merger itu

kalau kita amati di sekeliling kita. ah pabrik cat sama pabrik kosmetik e masss piyeee 

mengelola perusahaan yg pendekatan memakai kearifan lokal juga besar pengaruhnya

Iya pak ini yang mulai dilakukan beberapa pengusaha, seperti bos saya, dia lebih memilih memperkerjakan para professional utk usaha nya saat ini, anak nya malah rencana di buka kan usaha sendiri sesuai dgn keinginan masing2 anak nya

gawatnya kalau profesionalnya itu tidak "cinta" sama produk jadinya. kalau orang ngomong, ngga passion sama produknya. ngga ngeblend sama si malika, kedelai hitam.

Waduh gawat nik kl professional harus cinta di produk, cinta di bidang proses nya saja pak,.yg suka wh ya di wh, yg suka logistik ya di log nya, begitu juga dgn ppic, supply chain, produksi dan qc 

Kalau mesti dipaksa cinta, sepertinya agak susah Om

Malah harus nya professional memberi nilai lebih pada produk

Profesional yang disayang, biasanya yang helicopter view.

untuk memiliki pandangan seluas helikopter ini, juga butuh latihan berbulan-bulan Om 

nihhh pengusaha kuliner mungkin bisa memberikan kesaksiannya 

luas dan lebih objective dan general, tapi tetap ada menilai, menganalisa dan menghitung

Berarti profesional pun harus punya sense of entrepreneurship ya ...? 

Secara tidak langsung itu yang diajarkan kepada saya.., ngga melulu profesional, pendekatan jika menjadi pemilik sesungguhnya apa yang dilakukan.

Masih belum paham mengapa kita mesti memiliki sense of pemilik usaha?

contoh sederhana. Mas rully punya usaha bebek purnama. mas rully dibantu 2 tenaga, yang satu sangat paham akan produk bebek mas, mulai dari penggorengan dan tingkat kematangan, yang satu pokoknya digoreng aja, dan dihidangkan. lebih suka yang mana? itu contoh sederhananya

jelas prefer yg paham menggoreng, tingkat kematangan & menghidangkan

bekerja dgn hati yg ikhlas berarti ya Om. maksudnya utk dapat sense of pemilik usaha, pd awalnya kita mesti bekerja dgn hati yg ikhlas dahulu.

bukan hati yang ikhlas. namun layaknya diirmu pemilik usaha

Apa mungkin karena para pekerja dan pegawai di masa lalu lebih dedicated dan lebih nriman, sehingga performance secara menyeluruh sangat total dibandingkan dengan tenaga kerja saat ini? Sehingga perusahaan dapat berjalan dengan kekuatan full dan konstan dan me-maintain sustainable pada akhirnya ...?

saya berpikirnya begitu..pekerja dulu lebih melihat ke balas budi. karena sudah dibantu

Menarik Boss, karena ini sudah mulai menyentuh aspek triple bottom line dalam Sustainable Development ... 

Pekerja jaman dulu lebih kearah bekerja dan mengabdi.......Makanya loyal bgt.....

barangkali tdk bisa dipaksakan pekerja zaman now buat memiliki pola berpikir/sense seperti pekerja zaman dahulu

karena terjebak culture. kalau ngga UMR mana mau.., kalau ndak gaji 5 juta mana mau...,disisi pengusaha. gila apa bayar segitu, omset aja ndak nyampe. justru loyalis loyalis yang menemani mereka dari awal itulah yang pada akhirnya menikmati. kembali lagi ini sudut pandang, yang ngga bisa langsung masuk kiri kelaur kanan. namun faktanya terjadi hari ini. calon pekerja kesulitan cari kerjaan, pemilik usaha kesulitan mencari pekerja.

Nah ini sebenarnya mungkin bisa dikategorikan sebagai sebuah disrupsi, tidak hand in hand antara pengusaha dan para pekerjanya, karena tidak berjalan bareng karena misi dan visi yang berbeda ...

Utk pekerjaan, byk informasi lowongan di internet Om. Tapi jodoh"-an sih sebenarnya cari kerjaan ituh

iya bisa jadi kalangan dunia pendidikan perlu dibantu untuk mendidik karakter calon pekerja saat masuk dunia kerja

Harapan pengusaha, "Multitasking, productivity tinggi, punya sense of ownership, Gaji UMK  aja dah, KL bisa di bawahe". Impian pekerja, "Gaji naik 20% per tahun, ada bonus tahunan, Sabtu Minggu libur, lebaran bisa libur 2 mgg, dapat makan siang, pulang bisa ontime". Ga ada nyambungnya

yups some kind conflict of interest

hahahaha, faktanya demikian

Ini saya setuju.. djie sam soe salah satunya.. rokok ini dalam ulasan sejarahnya mempengaruhi jatuh dan bangunnya "kinerja" bisnis sampoerna..

Produk yg di keramatkan Ama produsen, spt gudang garam merah juga...

No comments:

Post a Comment

Related Posts