Monday, August 31, 2020

Penerapan Aplikasi Mobile untuk Bisnis Logistik

OpinionDay #56
Oleh : Anang Fahmi Syarif (SSG-144)

Perkembangan Teknologi komunikasi berbasis online sudah demikian pesat termasuk juga pada penggunaan teknologi Aplikasi Mobile di hampir seluruh sektor kehidupan, termasuk juga sektor bisnis. Hampir semua sektor bisnis sudah mulai menerapkan penggunaan aplikasi mobile untuk meningkatkan performa operasional dan layanan mereka. Bisnis Logistik tidak lepas dari tuntutan jaman dalam penerapan teknologi di semua departemen atau kegiatan operasinonalnya. Penerapan Aplikasi Mobile untuk Bisnis Logistik sudah banyak berkembang dari yang hanya untuk pencatatan order, sampai hingga sekarang untuk transaksi dan penelusuran pengiriman barang.

Sudah mulai banyak aplikasi Android atau aplikasi Iphone (Ios) mendominasi aplikasi yang digunakan dalam keseharian operasional logistik dan bisnis perdagangan, cntohnya aplikasi marketplace logistik seperti Marketpkace Last Mile Delivery atau aplikasi pengiriman (delivery application). Berikut beberapa jenis aplikasi Mobile untuk bisnis Logistik yang sudah banyak dikembangkan.



Aplikasi Mobile untuk Pergudangan/Warehouse

Layanan Logisitk warehouse atau jasa pergudangan sudah sangat familiar dengan penggunaan aplikasi berbasis Android atau Ios (iphone) untuk kegiatan operasionalnya. Fitur yang biasa ada dalam Aplikasi Warehouse atau pergudangan selain dari penggunaan teknologi barcode/label atau QR Code ini adalah :

  1. Modul penerimaan barang (Good Receipt)
  2. Modul Pemesanan tempat / Space (Customer Order)
  3. Modul Kartu Barang (Stock Card)
  4. Modul Stock Opname
  5. Modul pengecekan barang (Item Checker)
  6. Modul pencatatan Penyesuaian Barang (Adjustment)
  7. Modul Handling (Stuffing, Stripping, Packing, Dispatch) Order
  8. Modul Picking Order
  9. Modul Pelaporan Kinerja (Reporting)


Aplikasi Mobile untuk Bisnis Jasa Transportasi

Dalam bisnis Jasa Transportasi atau Pengiriman barang via moda darat, modul dalam Aplikasi Mobile yang dikembangkan lebih banyak fiturnya, berbagai jenis aplikasi atau sub modul juga sudah banyak dikembangkan terpisah. Bahkan menjadi sebuah bisnis tersendiri bagi penyedia platform berbasis Awan (Cloud Application) seperti Gojek dengan Gobox atau Gosend, Grab, On-Truck, Deliveree dan lainnya. Contoh jenis aplikasi mobile untuk bisnis Jasa Transportasi dilihat dari fiturnya :

  1. Aplikasi Job Order Management
  2. Aplikasi Driver Order Management
  3. Modul Vendor Assigment (Penugasan kepada vendor)
  4. Aplikasi Vehicle Tracking (Penelusuran Kendaraan)
  5. Modul Customer Order
  6. Driver Performance
  7. Aplikasi Fleet Maintanance System (FMS)


  • Vehicle Checking
  • Maintanance Management
  • Modul Inventory
  • Tyres management


Aplikasi Mobile untuk kegiatan Logistik Lainnya

Selain dari jenis-jenis aplikasi mobile diatas lainnya, masih banyak aplikasi mobile yang dikembangkan untuk bisnis logistik jenis lainnya juga. Antara lain :

1. Aplikasi Mobile Android untuk bisnis Depo Kontainer yang meliputi :

  • Modul Job Order Management
  • Maintanane and Repair Management
  • Container Tracking
  • Container Inspection
  • Inventory Modul
  • Gate Management


2. Aplikasi Mobile untuk bisnis Distribusi barang, yang meliputi :

  • Aplikasi Mobile untuk penjualan / Point of Sales (POS)
  • Aplikasi Mobile untuk Pemesanan Online (Online Purchase Order)
  • Aplikasi Mobile untuk Stock Control Retail
  • Aplikasi Mobile untuk penjadwalan Pengiriman barang


3. Aplikasi Penelurusan Pengiriman Barang (Delivery Tracing)


Slide bisa dilihat di Slideshare.

Dengan adanya teknologi yang semakin berkembang, maka semakin besar persaingan yang muncul di bisnis Logistik dengan mengusung keunggulan teknologi informasi dengan menyajikan Aplikasi Mobile sebagai salah satu layanan dari tiap-tiap perusahaan. Dan kami juga memperkenalkan Software Logistik melalui sebuah layanan konsultasi dan pengembangan melalui Pilarmedia Indonesia dan SOLOG.

Republish dari https://medium.com/@amikaja/penerapan-aplikasi-mobile-untuk-bisnis-logistik-b30b121df45f

Friday, August 28, 2020

Sold Out


TERIMA KASIH

Kepada seluruh partisipan yang sudah order buku 'Opinion Day #1' ini, baru seminggu launching (22 Agustus 2020)
.
Bagi anda yang belum memiliki buku ini, jangan khawatir, masih bisa Pre-Order kok.
.
Caranya gimana min? Langsung aja klik link yang ada di bio ig @surabayastudygroup ya,
.
Dan tetep, semua keuntungan yang didapat akan di donasikan ke panti asuhan yang sudah tim panitia tunjuk
.
https://www.instagram.com/p/CEa0A7opqL6/?igshid=1xb0c02dn2uks
.
#surabayastudygroup #learntogether #belajarbersama #donasibukusurabaya #donasibuku

Monday, August 24, 2020

Peran Masyarakat dalam Pembangunan Ekonomi Selama COVID-19 melalui Investasi SBN Ritel Indonesia

#IniUntukKita – Peran Masyarakat dalam Pembangunan Ekonomi Selama COVID-19 melalui Investasi SBN Ritel Indonesia

OpinionDay #55
Oleh : Muhammad Faris Naufal (SSG-399)

#Obligasi dari Kacamata Investor

Obligasi (bond) adalah salah satu surat berharga (efek) dalam bentuk kewajiban / utang jangka panjang yang akan dibayar kembali hingga jatuh tempo (t) dengan kupon (c) yang telah ditetapkan (fixed amount of interest each year).


Gambar 1. Klasifikasi Obligasi

Obligasi dapat diterbitkan oleh pemerintah (Government Bond) dan perusahaan (Corporate Bond). Untuk Obligasi Pemerintah (Surat Berharga Negara/SBN) dapat bersifat lelang dan non lelang (bersifat ritel). Secara umum obligasi pemerintah diterbitkan guna pembiayaan defisit APBN, dan tujuan spesifik seperti pembangunan dan pemulihan, sebagai contoh ORI017 digunakan untuk stimulus ekonomi dan bantuan terhadap masyarakat terdampak akibat COVID-19.

#Menakar Imbal Hasil dan Risiko Instrumen Investasi


Gambar 2. Grafik Risiko vs Return pada Berbagai Instrumen Investasi

Instrumen investasi melalui obligasi pemerintah merupakan salah satu investasi yang menarik selama masa pandemi ini. Obligasi ini dapat menjadi strategi dalam menurunkan risiko investasi melalui diversifikasi. Diversifikasi aset dapat membentuk portofolio optimal dengan memiliki beberapa aset yang memiliki standar deviasi tinggi dan rendah (beragam risiko). Tentunya obligasi pemerintah dapat menurunkan standar deviasi dari investasi seperti reksadana saham dan saham.

Dari beberapa pilihan obligasi pemerintah, SBN ritel adalah yang paling menarik karena dapat menjangkau masyarakat luas dengan minimum investasi yang rendah sebesar satu juta rupiah. Beberapa pilihan SBN ritel ialah SBR (Saving Bond Ritel) dan ORI (Obligasi Ritel Indonesia), untuk konvensional, sedangkan untuk kategori syariah ada ST (Sukuk Tabungan) dan Sukri (Sukuk Ritel). Pilihan SBN ritel ini sangat variatif dan merangkul semua lapisan masyarakat, termasuk masyarat muslim yang ingin berinvestasi sekaligus membantu Negara namun tetap sesuai dengan syariah islam.

Tabel 1. Perbandingan Instrumen Investasi SBN Ritel, Deposito dan Saham


Gambar 3. Rekapitulasi Peringkat Return Investasi 2016

Rekapitulasi return investasi pada tahun 2016 menunjukkan obligasi pemerintah berada pada posisi nomor 2, dengan return sebesar 10,36%. Hal ini menunjukkan bahwa obligasi pemerintah menarik dan layak sebagai pilihan invetasi.

Secara sederhana, berikut simulasi return apabila melakukan investasi kedalam beberapa instrument investasi SBN Ritel Indonesia. Sangat menarik bukan? Dengan risiko yang rendah, mendapatkan imbal hasil yang cukup tinggi



Obligasi dari Kacamata Pembangunan Ekonomi Indonesia

Dalam melihat surplus/defisit APBN mari kita lihat persamaan Government Financing Constraint berikut:


Dari neraca persamaan diatas, terlihat bahwa:

Persamaan pada ruas kiri, menunjukkan

  • Besarnya beban/defisit anggaran pemerintah yang harus dibiayai, yang dapat dikurangi apabila penerimaan pajak meningkat.
  • Pembayaran pokok utang periode lampau beserta bunganya


Persamaan pada ruas kanan, menunjukkan cara untuk membiayainya

  • Pemerintah dapat menerbitkan surat utang baik dari dalam maupun luar negeri.
  • Meminjam dari Bank Sentral (BI) dengan mencetak uang.
  • Penjualan aset.



Langkah mana yang akan diambil pemerintah dalam mengatasi krisis akibat pandemi COVID-19 ini?

  • Dari sisi penerimaan pajak, dalam krisis akibat pandemi sangat tidak mungkin untuk meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek, apalagi permintaan global juga menurun, pendapatan masyarakat menurun, dan memerlukan waktu yang lama.
  • Penjualan aset (BUMN dan BPPN). Penjualan aset belum optimal dan recovery ratenya tergolong rendah, ditambah lagi akan munculnya berbagai reaksi dari kelompok tertentu.
  • Money Printing, pada dasarnya akan menimbulkan high powered money (M0) dan menimbulkan inflasi (unbalance condition) dalam perekonomian.
  • Penerbitan surat utang domestik. Masyarakat yang memiliki kelebihan dana dapat mengalokasikan sebagian dananya dalam membantu pemerintah memberikan stimulus ekonomi. Penerbitan surat utang ini tentu juga merupakan salah satu intrumen investasi bagi masyarakat dengan pembayaran kupon secara berkala kepada investor. Oleh karenanya pemerintah dapat menerbitkan obligasi kepada masyarakat luas dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) ritel yang dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.


Apa pengaruh Obligasi terhadap Pembangunan Ekonomi Indonesia?

Jika mayoritas masyarakat Indonesia telah paham mengenai SBN Ritel dan menerapkan prinsip gotong royong dan #Integritas dalam pembangunan Ekonomi, maka tagline judul diatas akan lebih tepat menjadi

Apa pengaruh masyarakat Indonesia sebagai Investor Domestik terhadap Pembangunan Ekonomi Indonesia? #BOOM

Di tengah kondisi perekonomian dunia yang melambat akibat pandemi COVID-19, menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II tahun 2020, mengalami kontraksi hingga 5,32%. Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan indikator utama dalam kemajuan perekonomian negara, sehingga dalam pemulihan dibutuhkan kerja sama dan integritas antara pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam mencapai hal tersebut.

Namun, apabila dalam realisasi anggaran, ekonomi Indonesia lebih didominasi dari sektor investasi asing (luar negeri), hal ini akan berpotensi terjadinya krisis global pada masa mendatang. Lalu apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dengan mengikutsertakan peran masyarakat dalam meningkatkan kemajuan pembangunan ekonomi di Indonesia? Ya, masyarakat dapat membantu modal anggaran Negara melalui keikutsertaan dalam pembelian SBN ritel yang bertujuan mencegah risiko utang luar negeri yang dapat mempengaruhi kestabilan nilai tukar rupiah terhadap valas, Modal ini dapat dipergunakan oleh Negara  untuk melunasi utang jatuh tempo atau utang luar negeri, membangun infrastuktur, dan juga memenuhi kebutuhan produksi yang ditujukan untuk masyarakat. Apabila sumber modal berasal dari dana masyarakat domestik itu sendiri, maka aliran rupiah akan bergerak dari masyarakat ke pemerintah dan dinikmati oleh masyarakat itu sendiri. #MenjagaNegeriLewatInvestasi #PahlawanNegara

Sumber Data & Informasi :
Jogiyanto. 2017. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Yogyakarta: BPFE
Parullian. 2002. Dampak Penerbitan Obligasi Pemerintah. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol 2 No 2.
Beritagar.id

Di publish ulang dari blog https://farischarming.wordpress.com/2020/08/23/iniuntukkita-peran-masyarakat-dalam-pembangunan-ekonomi-selama-covid-19-melalui-investasi-sbn-ritel-indonesia/

Sunday, August 23, 2020

Budaya Literasi, Bermanfaat Sekaligus Sedekah


9 buku meluncur lagi...

Terima kasih kepada yg sudah order, dengan membeli buku ini kita turut dalam rangka Melestarikan Budaya Literasi, Bermanfaat Sekaligus Sedekah, karena hasil keuntungan dari buku ini akan disumbangkan 100% kepada kepada Yatim Piatu dan pihak yang tidak mampu.

Bagi yg ingin berpartisipasi bisa klik di https://www.tokopedia.com/ipomsstore/opinion-day-volume-1

Saturday, August 22, 2020

Pick & Pack


Pick & Pack, persiapan buku sekaligus pembubuhan tanda tangan serta pemberian stempel "Indonesia Maju : Signature - 75 Tahun Indonesia Merdeka"

Buku ini berisi 53 artikel kumpulan dari Pengalaman dalam bidang Supply Chain, Operations, Inventory Management, Bussiness Development, IT Systems in Logistics, yg dirangkum dalam 3 Bab, yaitu Supply Chain Management, Management Strategy dan General.

Buku bisa dibeli di https://www.tokopedia.com/ipomsstore/opinion-day-volume-1

Friday, August 21, 2020

Perdana, 12 buku Meluncur


Terima kasih kepada para pemesan buku Opinion Day Volume#1. Buku ini adalah kumpulan dari Pengalaman dalam bidang: Supply Chain, Operations, Inventory Management, Bussiness Development, IT Systems in Logistics dll.

Hari ini sedang meluncur 12 buku ke para pemesan.

Semoga salah satu aktivitas SSG (Surabaya Study Group) ini dapat berjalan lancar dan sukses dengan tujuan untuk Melestarikan Budaya Literasi, Bermanfaat Sekaligus Sedekah.

Bagi yg berminat silahkan klik di https://www.tokopedia.com/ipomsstore/opinion-day-volume-1

Launching Buku Opinion Day Volume #1


Alhamdulillah, akhirnya buku OPINION DAY selesai dari proses pencetakan. Buku ini merupakan kumpulan artikel Opinion Day selama 1 tahun (Juli 2019 - Juli 2020), yaitu hasil karya dari Agung Ektika, Anang Fahmi Syarif (Cak Amik), Erwin K. Awan, Fauzi Arif RH, Muhtarom (Cak Taro), Suryo Wahono, Sutomo Asngadi, Taufan Yanuar, Tommy Indianto, Widhy Wahyani, dan (alm.) Wijanarko Kertowijoyo.

Buku ini berisi 53 artikel kumpulan dari Pengalaman dalam bidang Supply Chain, Operations, Inventory Management, Bussiness Development, IT Systems in Logistics, yg dirangkum dalam 3 Bab, yaitu Supply Chain Management, Management Strategy dan General.

Buku pertama IPOMS Surabaya ini bisa didapatkan Rp 118.000 (diskon 50%) cukup dengan harga Rp 59.000.

Hasil keuntungan dari buku ini akan 100% disumbangkan kepada kepada Yatim Piatu dan pihak yang tidak mampu. Ini merupakan salah satu aktivitas SSG (Surabaya Study Group) untuk Melestarikan Budaya Literasi, Bermanfaat Sekaligus Sedekah.

Bagi yg berminat silahkan klik di https://www.tokopedia.com/ipomsstore/opinion-day-volume-1




Sunday, August 9, 2020

Circular Economy, Bank Sampah, dan Nanofinance

Opinion Day #54
Khairunnisa Musari (SSG-369)


Tulisan ini diambil dari salah satu makalah saya yang lolos 12th International Conference on Islamic Economics and Finance (ICIEF). Alhamdulillaah, Allah izinkan saya berturut-turut dapat mengikuti 10th ICIEF di Qatar pada 2015.

Lalu, 11th ICIEF di Malaysia pada 2016, dan kali ini 12th ICIEF di Turki pada 2020 meski hajatan prestisius dari the Islamic Research and Training Institute-Islamic Development Bank (IRTI-IDB) itu harus berubah dalam bentuk Webinar karena pandemi covid-19.

Ide tulisan ini terinspirasi dari Dr. Tariqullah Khan, seorang Profesor Keuangan Syariah dari Hamad bin Khalifa University, Qatar. Dr. Tariqullah Khan adalah salah satu nama besar dalam jagad keuangan Islam dunia.

Karya-karyanya termasuk yang selalu menjadi referensi. Dari beliaulah, saya kemudian mengenal circular economy dan tertarik mendalaminya.

Circular economy masih menjadi istilah yang relatif baru buat Indonesia. Tapi bagi mereka yang konsen pada isu-isu lingkungan dan keberlanjutan, istilah ini mestinya sudah cukup sering didengar.

Secara sederhana, circular economy adalah konsep untuk mengurangi sampah dan memaksimalkan sumber daya yang ada. Konsep ini berbeda dengan linear economy yang kebanyakan dilakukan oleh kita semua dahulu, yaitu ambil - pakai - buang.

Pada circular economy, semua bentuk sampah, emisi, dan energi terbuang dipandang sebagai sumber daya untuk memperpanjang masa pakai sampah untuk dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku utama atau campuran bagi produk baru.

Circular economy adalah jawaban pula untuk masalah sampah plastik yang beberapa tahun terakhir menjadi isu nasional.

Masih ingat kan dengan kebijakan di berbagai tempat yang melarang penggunaan air kemasan dan kemudian dihimbau untuk membawa botol minuman sendiri?

Masih ingat kan ketika kita berbelanja di minimarket harus membayar kresek atau diminta membeli tas non-plastik?

Nah, upaya-upaya mengurangi sampah plastik itu juga menjadi target circular economy. Dengan konsep ini, limbah plastik didaur ulang untuk menghasilkan bahan baku baru yang dapat digunakan untuk memproduksi, misalnya, aspal plastik seperti di Cilegon.

Buat Indonesia, manajemen sampah yang digaungkan oleh circular economy hari ini sesungguhnya telah lama dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Apa itu? Ya, benar, bank sampah.

Saya menulis di media tentang bank sampah sudah sejak 2010. Tapi, saat itu, belum marak dikenal istilah circular economy. Proses-proses yang diperkenalkan circular economy hari ini sejatinya adalah proses-proses yang telah dilakukan bank sampah di Indonesia sejak dahulu.

Dengan kata lain, bank sampah adalah salah satu kearifan lokal masyarakat Indonesia. Sebelum circular economy dikenal, sebagian masyarakat kita telah melakukan manajemen sampah berbasis komunitas dengan memilah sampah.

Bank sampah di Indonesia terus bertransformasi. Dalam fase tertentu, bank sampah di Indonesia kemudian memiliki fungsi sebagai lembaga simpan pinjam.

Apa bedanya dengan perbankan? Ya, mirip perbankan. Hanya, objek transaksinya adalah sampah.

Jadi, nasabah bank sampah yang membutuhkan dana dapat meminjam uang pada bank sampah. Pengembalian pinjaman bukan dengan uang, tetapi dengan sampah.

Nilai pinjaman yang disediakan bank sampah kisarannya berbeda-beda. Ada yang berkisar Rp 100-300 ribu, maksimum Rp 500.000, ada juga yang maksimum Rp 1.000.000.

Nah, nilai pinjaman tersebut dapat dikategorikan sebagai nanofinance.

Adapun penerima manfaat terbesar dari layanan pinjaman bank sampah itu adalah masyarakat yang berada pada lapisan bawah. Dan kelompok masyarakat tersebut yang memang menjadi target utama nanofinance kan…

Ya, kehadiran nanofinance melengkapi keterbatasan microfinance dalam menjangkau kelompok masyarakat miskin. Misi utamanya adalah menghindarkan mereka terjerat rentenir, mendorong untuk mandiri, dan mampu memenuhi kebutuhan minimum serta menjalani kehidupan yang layak.

Untuk itu, pembiayaan kategori ini harus meniadakan bunga atau beban administrasi, bahkan bagi hasil, karena merupakan pinjaman kebajikan (qardh).

Daaaaan… dari berbagai literatur dan informan yang saya temui, semua menyebutkan nilai pengembalian pinjaman dari nasabah dalam bentuk sampah itu ya sesuai nilai pinjamannya tersebut. Dalam keuangan syariah, ini qardhul hassan kan…

Tidak hanya itu saja. Keberadaan bank sampah sejatinya adalah bagian dari pembangunan lingkungan hidup (LH) yang pada hakekatnya adalah mengurangi resiko lingkungan dan memperbesar manfaat lingkungan.

Dalam QS. Al-Hijr: 19-20 dan QS. An-Nahl: 14, 66, Allah telah menyatakan bahwa bumi dihamparkan dengan gunung-gunung dan segala sesuatu yang ditumbuhkan di atasnya sesuai ukuran.

Allah menjadikan segala sesuatu di bumi untuk memenuhi keperluan hidup. Allah juga menciptakan lautan dan binatang ternak yang dapat diambil manfaatnya oleh manusia.

Akan tetapi, LH sebagai sumber daya mempunyai kemampuan regenerasi yang terbatas. Apabila eksploitasi atau penggunaannya melampaui batas daya regenerasi, maka sumber daya alam (SDA) akan mengalami kerusakan atas fungsinya sebagai faktor produksi dan konsumsi.

Oleh karena itu, QS. Hud: 61 mengingatkan tentang tanggung jawab manusia untuk memelihara dan memakmurkan bumi untuk mendapat penghidupan.

Pada tataran inilah, kita bisa melihat adanya keeratan antara Islam, bank sampah, nanofinance, dan circular economy. SDA dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi LH.

Sebab, SDA dalam Islam sejatinya memiliki peran ganda. Yaitu, sebagai modal pertumbuhan ekonomi dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan.

Atas dasar fungsi ganda tersebut, SDA senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional.

Wallahua’lam bish showab.***


Di upload ulang dari https://portaljember.pikiran-rakyat.com/ekonomi-syariah/pr-16394137/circular-economy-bank-sampah-dan-nanofinance

Saturday, August 8, 2020

Circular Economy : An Economic Model of the Future

Di pertemuan Circular Economy 1 : Introduction, yang diadakan dalam SSG#37 sebelumnya, disebutkan bahwa saat Thomas Savery menemukan mesin uap pada tahun 1684 maka dimulailah revolusi industri, banyak dampak positif dan dampak negatif yang mengiringinya, salah satunya bahan mentah dan energi yang terkuras, karena saat itu menggunakan konsep linear economy.


Dalam pertemuan SSG#38, merupakan kelanjutannya yaitu Circular Economy 2 : An Economic Model of the Future, yaitu mengacu pada model industri regenerative dengan tujuan produk dirancang untuk memfasilitasi penggunaan kembali, pembongkaran, restorasi dan didaur ulang untuk memungkinkan sejumlah besar bahan digunakan kembali daripada memproduksi dari bahan baku pertamanya.

Kita bisa menggunakan pendekatan The ReSOLVE Framework, yaitu :
ReGENERATE
SHARE
OPTIMISE
LOOP
VIRTUALISE
EXCHANGE

Acara dimulai pukul 14.00 yang dibuka oleh Suryo Wahono, setelah dilantunkan lagu Indonesia Raya kemudian pukul 14.15 dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Erwin K. Awan selama 45 menit yang disimak dengan baik oleh 64 peserta.

Pukul 15.00 adalah sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Ristonny Herady & Taufan Yanuar, suasana cukup hidup, karena tercatat terdapat 20 pertanyaan, yaitu diantaranya:

Diansyah A
1. Apa bedanya Circular Economy dengan Green Economy
2. Apakah Zero Waste adalah contoh dari Circular Economy?
3. Apakah yang menjadi input didalam CE adalah material bekas pakai?
4. Bagaimana peran CE dalam menghadapi isu harga tomat yang anjlok, dimana ketersediaan barang melimpah sementara daya beli masyarakat menurun.

Khairunnisa M
5.  Apakah ada perusahaan di Indonesia yang menerapkan reverse logistics sebagai salah satu wujud circular economy? Bagaimana peluang reverse logistics di Indonesia dan dunia ke depan?

Diah Ayu S
6. Pemerintah akan melarang pengunaan PS mulai 1 Januari 2030, apakah ini juga akan berlaku juga untuk ABS SAN?

Suryo Wahono
7. Seberapa Jauh Saat ini Pemerintah Indonesia sebagai Regulator Mendorong terwujudna Circular Ekonomi? tadi sempat di sampaikan sekilas. mohon penjelasannya lebih jauh.

Si Suryani
8.  Sdh seberapa jauh industri/pelaku usaha kita mengenal circular economy?
9. Utk penerapan konsep ini, sejauh mana EU sdh menerapkan? Seperti apa kerangka waktu penerapan & targetnya?
10. Pandemi COVID-19 bisa jadi tipping point utk implementasi circular economy kah?

Nur Muflihah
11. Bagaimana hubungan antara LCM (life cycle management) dg circular economy? Serta langkah kongkrit perusahaan yg telah mengimplementasikan nya?

Nur Edi Santoso
12. apa bedanya sirkuler ekonomy dgn sustaint development/SGD yg dipelopory PBB yg diratifikasi negara negara yg hrs juga diterapkan oleh perusahaan
13. utk perusahaan yg mau komit terapkan sustaint development/atau sirkuler ekonomi, ternyata ujung-ujungnya utk bikin laporannya supermahal yg dikenakan oleh konsultan? ini yg memberatkan, apa solusinya ya

Teddy Asril
Circular economy, khusunya untuk area industri, harus ada keseimbangan antara keuntungan ekonomi dan kepentingan bersama (common interest). Untuk global south (developed country & westerns), kesiapan infrastruktur dan mindset masyarakatnya sudah mampu untuk mendukung circular ekonomi. Pertanyaan:
14.  Bagaimana dengan negara-negara berkembang di asia dan di dunia, dimana infrastrukur, teknologi, people mindset belum secara maksimal aware dengan pentingnya circular economy?
15. Sebagai contoh Indonesia, dengan GDP per capita USD 14,800 masih digenjot untuk di akselerasikan sebagai negara maju (baru), tanpa regulasi jelas untuk comply ke circular economy, kira-kira pendekatan circular economy akan memberikan % berapa untuk 10-15 tahun kedepan (dengan opfimalisasi bisnis berada pada level MSME)? Terima kasih

Diah Ayu S
16. Sudah sejauh mana regulasi di Indonesia dan global tentang sustainability dan circular ekonomi? Apakah penerapan circular ekonomi mandatory untuk semua sektor industri di Indonesia? Terimakasih

Amri Hakim Sihite
17. Yang saya tangkap dari penjeleasan pak Erwin, ke depannya kita diharapkan pakai material yg telah di recycle dan jangan lagi material original.. namun suatu masalah terjadi bila material itu di recycle ada kemungkinan akan terjadi penurunan kualitas.. contohnya plastik.. kalau direcycle akan trjadi plastik kw (kwalitas bawah).. dan biasanya customer tidak mau pakai material daur ulang..

Ichsan
18. Bagaimana menghubungkan circular economy dgn program pemerintah di ketahanan pangan dan energi.

Diansyah:
CE ini dari yang sempat saya baca sekilas merupakan closed loop. Mohon koreksinya kalau keliru. Terkait concern negara2 Eropa mengenai sampah plastik, sementara kemasan2 produk banyak menggunakan plastik.
19. Apakah nantinya dengan CE ini produksi kemasan dibatasi sesuai jumlah kemasan yang sudah diproduksi?
20. Bagaimana perusahaan mencapai target produksi dengan CE?

Selain 20 pertanyaan diatas, juga terdapat 3 catatan dari peserta yang sangat bagus dan menarik untuk disimak, yaitu

Iwan Budhiarta (International Society for Sustainability Professional) 
Mohon ijin sharing pendapat. Circular Economy juga digunakan di dalam World Business Council for Sustainable Development. Bahkan skrg juga sudah ada Circular Economy Asia.

Cak Taro
Menambahkan cak Erwin, di webinar minggu kemarin dengan bea cukai ada wacana pengenaan cukai untuk plastik dan bahan bakar fosil karena dampaknya ke lingkungan, jd ini salah satu instrumen pemerintah dalam rangka mengendalikan plastik dan bahan bakar fosil. Yang mana pendapatan dari cukai plastik dan bahan bakar fosil ini bisa digunakan untuk riset dan pengembangan teknologi terbarukan dsb.

Mohsyarwani
Catatan: Berawal dari konsep Doughnut Economic-nya Kate Raworth.. untuk mewujudkan perekonomian.. yang tidak hanya memperhitungkan kesejahteraan dan kemakmuran, tetapi juga keberlangsungan planet yang kita tinggali.

Dan akhirnya tepat kurang 2 menit semua pertanyaan selesai dijawab, dan akhirnya acara ditutup oleh Suryo Wahono selaku pembawa acara.



Peserta yang hadir pada SSG#38 adalah sebagai berikut
SSG-007 Taufan Yanuar
SSG-059 Erwin K Awan
SSG-114 Taro Muhtarom
SSG-143 Ristonny Herady
SSG-144 Anang Fahmi Syarif
SSG-145 Tatit Aji Wijaya
SSG-165 Fricor Nevriadi
SSG-176 Ivan Gunawan
SSG-227 Wahyu Adi
SSG-266 D.Marshall Saluding
SSG-339 Suryo Wahono
SSG-340 Yudha Indrianto
SSG-346 Yulius Yudi
SSG-357 Agus Tjahyono
SSG-358 Ichsan
SSG-359 Lenny Halim
SSG-360 Nur Muflihah, M.T
SSG-361 Hendy Karles
SSG-362 Panji Dwi Prasetyo
SSG-363 Tjetjep Suryana
SSG-364 Ricky Martono
SSG-365 Diah ayu setyaningsih
SSG-366 Rekky
SSG-367 Marudut Sirait
SSG-368 Andri Kabul
SSG-369 Khairunnisa Musari
SSG-370 Teddy Asril
SSG-371 Diansyah Apritama
SSG-372 Suherman Yahya
SSG-373 Iwan Budhiarta
SSG-374 Kurnia Kiswoto
SSG-375 Luthfi jamili
SSG-376 Inggiganes Fitriyanto
SSG-377 Sandi Ariawan Santoso
SSG-378 Nur edi santoso
SSG-379 HARDITRIYONO PUTRA
SSG-380 Septian Dwi Setiaji
SSG-381 Barkah Adi Nugroho
SSG-382 Arif susanto
SSG-383 Amrullah Sofyan
SSG-384 SI Suryani
SSG-385 Elvi suzy farida s
SSG-386 David Willy Soenarto
SSG-387 YANUR ARZAQA GHIFFARI
SSG-388 Evi Yuliawati
SSG-389 Junianto
SSG-390 Adi Prasetyo
SSG-391 Agah Nurdinugraha
SSG-392 Amri Hakim Sihite
SSG-393 Andaryanto Maurly Ssauntoro
SSG-394 Boni Laks
SSG-395 Yardi Limas
SSG-396 Frans Ginting
SSG-397 Moh. Syarwani
SSG-398 Rhesa Giovanni

Friday, August 7, 2020

H-1 Surabaya Study Group #38

Untuk para peserta SSG#38, agar diskusi webinar Sabtu besok (08-08-2020) bisa lebih hidup dan menarik, dipersilahkan bagi rekan-rekan jika ada concern / pertanyaan mengenai Circular Economy bisa dicatat & ditanyakan terlebih dahulu, pertanyaan bisa dikirim japri ke nomor WA 0812 3666 9624

Terima kasih dan sampai jumpa besok

CA#12 : Practical Approach of Supply Chain Management

Hari Jumat, tanggal 7 Agustus 2020 ini merupakan hari terakhir Pengajaran Daring atau kuliah online dari IPOMS kepada kelas Logistic Management kampus LP3i Sidoarjo. Materi yang dibawakan oleh Agung Ektika, Supply Chain Manager at PT Cargill Indonesia, adalah Practical Approach of Supply Chain Management sekaligus merangkum dari pengajaran sebelumnya.

Di moderatori oleh Taufan Yanuar, berikut adalah sekilas materi yang dibawakan.

Objectives:

  • Overview of where supply chain management (SCM) practices have been carried out 
  • To present a appropriate and sufficient reference of recent experiences and possible implications of future implementation at SCM 

Materials:

  • Basic Concept, Framework, Objectives & Goal of SCM
  • Inventory models
  • Performance measurements in supply chains
  • Strategy & Global Supply Chains

SCM : Introduction and basic concept

Supply chain: Includes all the companies involved in all the upstream and downstream flows of products, services, finances, and information from the initial supplier to the ultimate customer

Supply Chain Management: “Systematic, strategic coordination of the traditional business functions within a particular company and across businesses within supply chain, for the purposes of improving the long-term performance of the individual companies and the supply chain as a whole. (John T. Mentzer)


Tuesday, August 4, 2020

Meet the Doughnut: The New Economic Model that could Help end Inequality

Image: Kate Raworth and Christian Guthier/The Lancet Planetary Health

Meet the doughnut: the new economic model that could help end inequality

28 Apr 2017

Kate Raworth
Senior Visiting Research Associate, Environmental Change Institute, Oxford University
 
They say a picture speaks a thousand words, so here’s the state of humanity in a single image. It’s the “Doughnut” of social and planetary boundaries and it could just turn out to be the compass we need for creating a safe and just 21st century.

The hole at the Doughnut’s centre reveals the proportion of people worldwide falling short on life’s essentials, such as food, water, healthcare and political freedom of expression – and a big part of humanity’s challenge is to get everyone out of that hole. At the same time, however, we cannot afford to be overshooting the Doughnut’s outer crust if we are to safeguard Earth’s life-giving systems, such as a stable climate, healthy oceans and a protective ozone layer, on which all our wellbeing fundamentally depends.


Safe and just space

If getting into the Doughnut’s safe and just space between these social and planetary boundaries is humanity’s 21st century goal, then – it comes as no surprise – we have a big job ahead. Many millions of people still lack life’s essentials, living daily with hunger, illiteracy, insecurity and voicelessness. At the same time, humanity’s collective pressure on the planet has already overshot at least four planetary boundaries: for climate change, land conversion, fertilizer use, and biodiversity loss.

In other words, today’s global economy is deeply divisive – riven with extreme inequalities – and it is degenerative too, running down the living world on which everything depends.

What economic mindset can give us even half a chance of turning this situation around? This is the question at the heart of my book, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st Century Economist, and here I’ll focus on just one of those seven ways: a revolution in economic thinking about inequality.


Progress for everyone

Inequality seems to have become the topic of our times, even though barely a decade ago it was politely kept off the agenda. Thanks to the past 10 years of ground-breaking analysis – including Wilkinson and Pickett’s The Spirit Level, Oxfam’s annual billionaire calculations and Piketty’s Capital in the 21st Century – combined with the extraordinary rise of the 1%, the promise to tackle inequality now appears high on every policymaker’s list. We are daily offered “inclusive growth” and “an economy that works for everyone”. So what kind of economic mindset can help bring it about?

Certainly not 20th-century thinking on inequality, which was ruled by a spurious economic law of motion. And that law’s accidental creator, Simon Kuznets, would be the first to debunk the political narrative that has been built on the back of it, used to justify trickle-down economics and austerity politics ever since.

In 1955, Kuznets gathered together patchy historical data on income distribution in the US, UK and Germany, and he thought he saw a pattern: that as economies grew, income inequality rose at first and then fell. Plotted on the page, it looked like an upside-down U.

               
Kuznets was the first to acknowledge that this finding went against his intuition: given the dynamics of capital accumulation, he expected the rich to get richer, not the poor to catch up. So he proffered a tentative explanation based on the process of rural-to-urban migration – a hypothesis for which he later admitted he had “no evidence whatsoever”. He even openly acknowledged that his conclusion was based on “5 per cent empirical information and 95 per cent speculation, some of it possibly tainted by wishful thinking’, later adding that it should not be used for making “unwarranted dogmatic generalisations.”

So much for Kuznets’ caveats. The underlying message – that rising inequality is an inevitable stage on the journey towards economic success for all – was too good a story to doubt and the Kuznets Curve was taught to every student for at least the next 50 years. That matters because it wordlessly whispers a powerful message: if you want progress, inequality is inevitable. It’s got to get worse before it can get better and growth will (eventually) make it better.

So what new paradigm can replace this outdated myth and its accompanying intellectual graffiti? An old picture is best dislodged by a new one, so let’s start with a 21st-century image fit for tackling inequality: a network of flows.

               
A network of flows: structuring an economy as a distributed network can more equitably distribute income and wealth amongst all those who help to generate it.
Distributive by design
To transform today’s divisive economies, we need to create economies that are distributive by design – ones that share value far more equitably amongst all those who help to generate it. And thanks to the emergence of network technologies – particularly in digital communications and renewable energy generation – we have a far greater chance of making this happen than any generation before us.

As we do so, we should also deepen the ambition of the redistribution agenda. In the 20th century, policies promoting redistribution were largely focused on redistributing income – by raising taxes, increasing transfers, and implementing minimum wages – along with investing in key public services such as health and education. All are essential, but they still don’t get to the root of economic inequalities because they focus on income, not the sources of wealth that generate it.

Instead of focusing foremost on income, 21st-century economists will seek to redistribute the sources of wealth too – especially the wealth that lies in controlling land and resources, in controlling money creation, and in owning enterprise, technology and knowledge. And instead of turning solely to the market and state for solutions, they will harness the power of the commons to make it happen. Here are some questions that 21st century economists have already taken on to help create an economy that is distributive by design:

Land and resources: how can the value of Earth’s natural commonwealth be more equitably distributed: through land reform, land-value taxes, or by reclaiming land as a commons? And how could understanding our planet’s atmosphere and oceans as global commons far better distribute the global returns to their sustainable use?

Money creation: why endow commercial banks with the right to create money as interest-based debt, and leave them to reap the rents that flow from it? Money could alternatively be created by the state, or indeed by communities as complementary currencies: it’s time to create a monetary ecosystem that can fulfill this distributive potential.

Enterprise: what business design models – such as cooperatives and employee-owed companies – can best ensure that committed workers, not fickle shareholders, reap a far greater share of the value that they help to generate?

Knowledge: how can the potential of the creative commons be unleashed internationally, through free open-source hardware and software, and the rise of creative commons licensing?

Technology: who will own the robots, and why should it be that way? Given that much basic research underlying automation and digitization has been publicly funded, should a share of the rewards not return to the public purse?

By taking on such questions of distributive design, we’ll give ourselves a far greater chance of tackling inequality and of thriving in the Doughnut’s safe and just space this century. And that is nothing less than our generational challenge.


Sumber :
https://www.weforum.org/agenda/2017/04/the-new-economic-model-that-could-end-inequality-doughnut/

Monday, August 3, 2020

What on Earth is the Doughnut?


Humanity’s 21st century challenge is to meet the needs of all within the means of the planet. In other words, to ensure that no one falls short on life’s essentials (from food and housing to healthcare and political voice), while ensuring that collectively we do not overshoot our pressure on Earth’s life-supporting systems, on which we fundamentally depend – such as a stable climate, fertile soils, and a protective ozone layer. The Doughnut of social and planetary boundaries is a playfully serious approach to framing that challenge, and it acts as a compass for human progress this century.


The Doughnut of social and planetary boundaries (2017)

The environmental ceiling consists of nine planetary boundaries, as set out by Rockstrom et al, beyond which lie unacceptable environmental degradation and potential tipping points in Earth systems. The twelve dimensions of the social foundation are derived from internationally agreed minimum social standards, as identified by the world’s governments in the Sustainable Development Goals in 2015. Between social and planetary boundaries lies an environmentally safe and socially just space in which humanity can thrive.

Here’s a one-minute introduction to the Doughnut, by the brilliant animator Jonny Lawrence.

And here’s a commentary published in The Lancet Planetary Health, May 2017.

Since the first iteration of the Doughnut was published as a discussion paper by Oxfam in 2012, it has had traction in very diverse places – from the UN General Assembly and the Global Green Growth Forum, to Occupy London.  Why such interest? I think it is because the doughnut is based on the powerful framework of planetary boundaries but adds to it the demands of social justice – and so brings social and environmental concerns together in one single image and approach. It also sets a vision for an equitable and sustainable future, but is silent on the possible pathways for getting there, and so the doughnut acts as a convening space for debating alternative pathways forward.

Commentaries on the first doughnut of 2012

George Monbiot in The Guardian argues that the doughnut highlights the importance of addressing environmental sustainability and social justice together.

Grist writer David Roberts sees the doughnut as a new way to think about economic growth (and wants the T shirt).

Tony Juniper argues that the doughnut helps to forge a way beyond contemporary capitalism.

Will Steffen and Mark Stafford Smith, two leading Earth scientists, reflect on how the doughnut can help to generate a set of Sustainable Development Goals.

Eduardo Gudynas, a Latin American environmentalist, asks whether the doughnut is too Western.

Wolff Olins, the brand consultants, challenge companies to ask themselves, “Is our brand a doughnut?”

Presentations and articles.

I have written about and presented the doughnut and its implications to a wide range of audiences, in the context of many different debates. Some of these include:

Nature Climate Change interview on the implications of the doughnut

Centre for Humans and Nature article on what Doughnut Economics implies for economic growth

State of the World 2013 chapter on planetary and social boundaries as a 21st century compass

Guardian blog presenting the doughnut in the context of the UN’s Rio+20 conference

Guardian podcast on planetary and social boundaries with Johan Rockstrom, Kate Raworth and Gail Whiteman of the World Business Council for Sustainable Development.

Evolving doughnut ideas

My research is focused on exploring what planetary and social boundaries imply for rethinking the concept of economic development. Is it growth or post-growth? How should we measure economic progress? How should we rewrite the economics textbooks so they are fit for tackling 21st century challenges? Join the Doughnut Economics discussion forum and subscribe to my blog at www.doughnuteconomics.org.


Sumber :
https://www.kateraworth.com/doughnut/

Sunday, August 2, 2020

Circular Economy


Indonesia memiliki segudang permasalahan lingkungan yang terus-menerus menghantui pembangunan kita, salah satunya soal sampah. Model linear economy yang bersifat take – make – dispose yang kita anut sejak beberapa dekade terakhir telah menampakkan konsekuensi yang tidak menyenangkan saat ini. Beberapa tahun terakhir, para peneliti lingkungan dan ekonomi memandang konsep ini sudah tidak sesuai dan harus mulai ditinggalkan serta beralih ke konsep lain.

Pada 2017, the British Standards Institution (BSI) meluncurkan framework Circular Economy yang pertama yaitu BS 8001:2017 yang digunakan oleh berbagai organisasi. Selanjutnya pada 2018, World Economic Forum, World Resources Institute dan  lebih dari 40 partner meluncurkan Platform for Accelerating the Circular Economy (PACE). 3 Fokus utamanya yaitu mengembangkan model keuangan campuran untuk proyek-proyek circular economy, terutama di negara-negara berkembang; menciptakan kerangka kerja serta kebijakan untuk mengatasi hambatan spesifik untuk memajukan circular economy; dan mempromosikan kemitraan publik dan swasta untuk tujuan ini.

Indonesia sendiri telah menerapkan prinsip circular economy, ditandai dengan telah diselenggarakannya Indonesia Circular Economy Forum yang ketiga kalinya pada November 2019 di Jakarta.  Keberhasilan penerapan konsep circular economy dapat membantu pembuatan produk dan layanan menggunakan inovasi yang membantu memaksimalkan efisiensi penggunaan sumber daya.  Hal ini secara efektif diharapkan akan meningkatkan daya saing, yang dapat membawa peluang pertumbuhan di tingkat global, senilai USD 4,5 triliun pada tahun 2030 (sumber: CEO Guide to the Circular Economy, WBCSD).

Selain itu, circular economy juga dapat membantu mengurangi emisi karbon, yang akan meningkatkan kondisi kehidupan di seluruh dunia dan mewujudkan Kesepakatan Paris serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB. Dalam circular economy, tidak ada lagi sampah. Perbedaan utama linear economy dengan circular economy dapat dilihat pada diagram di atas.

Toronto, bermitra dengan Enbridge Gas Inc, merupakan salah satu kota yang berhasil menerapkan konsep circular economy dan mendukung program kota Toronto yaitu Long Term Waste Management Strategy, dengan mengubah sampah organik bekas makanan menjadi renewable natural gas (RNG) dan menggunakannya untuk kendaraan truk. Dilansir CBC News, dengan inovasinya dalam proyek RNG, kota ini dikenal secara internasional dan mendapatkan “Energy Vision Leadership Award”.

Inovasi apa yang akan dilakukan Indonesia?


Sumber :
https://www.pertamina.com/id/news-room/market-insight/circular-economy

Saturday, August 1, 2020

WHAT IS CIRCULAR ECONOMY?

Circular economy is presented as a system of resources utilization where reduction, reuse and recycling of elements prevails

Manufacture, use and disposal? No, reduce, reuse and recycle. The current paradigm of lineal economic model could be coming to an end and its place will be taken by the circular economy.


Reusing elements would be a relief for nature

The current model of production and management of resources, goods and services that seeks to promote short-term consumption is leading the planet to an unsustainable situtation. The nowadays economic system is the opposite of the life cycle of nature and collides with sustainable development, focused on the long term. In nature there is no waste or landfill: all elements play a role continuously and are reused in different stages.


What is the circular economy?

Taking as an example the cyclical nature pattern, circular economy is presented as a system of resources utilization where reduction, reuse and recycling of elements prevails: minimize production to a bare minimum, and when it's necessary to use the product, go for the reuse of the elements that can not return to the environment.

That is, the circular economy promotes the use of as many biodegradable materials as possible in the manufacture of products -biological nutrients- so they can get back to nature without causing environmental damage at the end of their useful life. When it is not possible to use eco-friendly materials -technical nutrients: electronics, hardware, batteries... - the aim is to facilitate a simple uncoupling to give them a new life by reintroducing them into the production cycle and compose a new piece. When this is not possible, it will be recycled in a respectful way with the environment.


Good for users... and businesses

The circular economy: what is it?

Unlike other economic models where the economic aspect prevails over the social or environmental, circular economy is a substantial improvement common to both businesses and consumers. Companies that have implemented this system are proving that reusing resources is much more cost effective than creating them from scratch. As a result, production prices are reduced, so that the sale price is also lowered, thereby benefiting the consumer; not only economically, but also in social and environmental aspects.


Circular economy principles
There are ten principles that define how circular economy should work:


Waste becomes a resource: is the main feature. All the biodegradable material returns to the nature and the not biodegradable is reused.

Second use: reintroduce in the economic circuit those products that no longer correspond to the initial consumers needs.

Reuse: reuse certain products or parts of those products that still work to elaborate new artifacts.

Reparation: find damage products a second life.

Recycle: make use of materials founded in waste.

Valorization: harness energy from waste that can’t be recycled.

Functionality economy: circular economy aims to eliminate the sale of products in many cases to establish a system of rental property. When the product completes its main function returns to the company, where it is dismantled for reusing the valid parts.

Energy from renewable sources: elimination of fossil fuels to produce the product, reuse and recycle.

Eco-design: considers and integrates in its conception the environmental impacts throughout the life cycle of a product.

Industrial and territorial ecology: establishment of an industrial organizational method in a territory characterized by an optimized management of stocks and flows of materials, energy and services.
Do you think that the circular economy principles will change the current economic, social and environmental model? Join our poll and share yur opinion.


Sumber :
https://www.activesustainability.com/sustainable-development/what-is-circular-economy/

Related Posts